Komisi B DPRD Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur merasa perlu untuk belajar mengenai pengembangan pasar tradisional untuk menumbuhkan ekonomi rakyat dan belajar mengenai pengelolaan perusahaan milik daerah beserta penyertaan modalnya. Untuk itu, anggota Komisi B DPRD Kabupaten Nganjuk melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Kulonprogo, yang dilaksanakan Jum'at (16/3). Rombongan diterima Asisten II Sekretaris Daerah, Nugroho, SE di Gedung Joglo, kompleks Pemkab Kulonprogo.
Menurut Basori, Ketua Komisi B DPRD Nganjuk yang memimpin rombongan, kunjungan ke Kulonprogo tersebut juga merupakan wahana untuk bersilaturahmi dan mempererat hubungan antara Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kulonprogo.
Kunjungan tersebut membawa 11 anggota dewan beserta 2 orang karyawan Sekretariat Dewan.
Setelah diterima tuan rumah dan perkenalan, rombongan dipersilahkan berdiskusi mengenai pengelolaan pasar tradisional dan BUMD dengan SKPD Kabupaten Kulonprogo yang terkait dengan masalah tersebut.
Dalam sambutannya, Nugroho memandang kunjungan ini sebagai forum silaturahmi dan komunikasi untuk saling belajar masalah pengelolaan pasar dan BUMD, sekaligus sebagai media rekreasi. Nugroho menginformasikan bahwa di Kulonprogo terdapat 4 BUMD, yaitu PT Selo Adikarto, berusaha dalam bidang asphalt mixing plant, PDAM, Bank Pasar dan Perumda Aneka Usaha, yang menjalankan usaha SPBU dan pangkalan elpiji, namun ke depan akan dikembangkan usaha agen elpiji dan bengkel.
Menyinggung masalah pasar tradisional, Nugroho menjelaskan bahwa Pemkab Kulonprogo sudah ada aturan yang mengatur interaksi antara pasar tradisional dan pasar modern.
Pasar di Kulonprogo terdiri dari pasar yang berada di bawah pengelolaan Pemda, sering disebut pasar negeri dan pasar yang berada di bawah pengelolaan Pemerintah Desa. Pasar negeri di Kulonprogo berjumlah 35, tetapi yang aktif hanya 31. Dilihat dari pendapatannya, pasar negeri tersebut pada tahun 2011 menyumbang pendapatan sebesar Rp 800 juta.
Pengembangan pasar ini menggunakan dana yang perasal dari pusat, provinsi, APBD, dan investor pihak ketiga. Meskipun pasar tradisional masih banyak yang kurang layak, tetapi upaya pembenahan terus dilakukan.
Mengenai BUMD milik Pemkab Kulonprogo,
Pemkab sudah menyetor modal sekitar Rp 53 milyar dalam berbagai jenis usaha. Penyertaan modal pemkab tersebut antara lain pada Bank Pasar sebesar Rp 15 milyar, PD Aneka Usaha Rp 5 milyar, PT SAK Rp 8 milyar, Bank BPD Rp 14 milyar, dan Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) Rp 153 juta. Selain badan usaha tersebut, Pemkab juga memiliki lembaga keuangan mikro (LKM) Desa Wates seiring dengan peralihan status Desa Wates menjadi Kelurahan Wates. Namun LKM ini belum memberikan setoran ke PAD karena belum adanya payung hukum yang jelas. Selain itu, Pemkab Kulonprogo juga mendorong agar setiap desa di Kulonprogo memiliki badan usaha milik desa yang sebagian besar berupa usaha perkreditan rakyat.
Menurut Nugroho, pengelolaan BUMD tentunya tidak sama dengan mengelola SKPD, karena ada perbedaan dalam fungsi dan kegiatannya, sehingga untuk audit lebih cocok dilakukan oleh kantor akuntan publik daripada BPKP. Namun tentu saja tetap memperhatikan pelayanan kepada masyarakat.
Optimalisasi pengelolaan BUMD Pemkab terus dilakukan, misalnya dengan pemantauan mobil plat merah yang menjadi pelanggan SPBU Aneka Usaha, himbauan kepada rekanan untuk membeli produk PT SAK dalam pengerjaan infrastruktur, dan juga proses manajerial yang terus dibenahi seperti perekrutan direksi yang dilakukan secara terbuka dan melalui seleksi dari pihak ketiga secara profesional. Selain itu juga dilakukan prinsip manajemen modern secara profesional dalam pembuatan rencana kerja dan anggaran, observasi pelaksanaan dan pertanggungjawaban BUMD.
BUMD juga memiliki dampak ekonomis bagi masyarakat, antara lain meningkatkan akses pengusaha mikro pada pembiayaan perbankan, peningkatan kualitas layanan PDAM, dan kontribusi pembangunan infrastruktur di Kulonprogo. Beberapa BUMD masih belum memberikan hasil yang diharapkan karena saat diakuisisi kondisinya memprihatinkan ataupun baru saja tertimpa masalah yang besar.
Dijelaskan pula bahwa Pemkab Kulonprogo telah membuat peraturan untuk melindungi pasar tradisional, memberdayakan pedagang, dan melakukan penataan pasar. Selain itu, ijin pendirian pasar modern juga diperketat dengan mengharuskan sosialisasi kepada warga setempat, adanya kemitraan dengan UMKM setempat dan waktu operasional yang dibatasi.
Menyangkut Surat Edaran Kemendagri tentang pengembalian pasar daerah kepada desa, selama ini Pemkab Kulonprogo merasa tidak ada masalah, karena Pemkab dan desa memiliki MoU untuk membayar sebagian hasil pasar kepada desa dengan sistem sewa, sehingga desa tidak dirugikan.
Menutup diskusi tersebut, dijelaskan bahwa ada upaya mengintegrasikan antara pasar tradisional dan pasar modern tanpa harus merugikan masing-masing pihak, antara lain dengan menjadikan pasar tradisional sebagai supplier bagi komoditi yang dijual pasar modern.