
Dusun yang dihuni oleh sekitar 44 jiwa
itu dapat dikatakan tidak tersentuh oleh jaringan listrik apalagi
kemajuan teknologi. Jalan yang menghubungkan Dusun Tegal dengan desa
tersekat hanyalan jalan setapak yang membelah hutan sepanjang hampir 5
kilometer. Jalan itu pun berubah menjadi lautan lumpur bila musim
penghujan dan dipastikan tidak dapat dilalui oleh segala jenis kendaraan
termasuk sepeda.
Menurut Kasmiran (54), di Dusun Tegal seluruh
warganya hanyalah buruh tani yang memanfaatkan lahan hutan milik
Perhutani sebagai ladang. Anak-anak usia sekolah pun juga sangat minim, karena memang jarak sekolah terdekat sekitar 10 kilometer.
Tercatat,
di Dusun Tegal hanya sekitar 6 anak yang kini masih aktif bersekolah.
Sementara puluhan anak lainnya memilih membantu orang tuanya berladang
atau mencari kayu bakar. "Jalannya jauh dan medannya berat, jadi
anak-anak enggan untuk bersekolah," ungkap Kasmiran.
Kondisi tersebut memang sejak lama dan hingga kini tidak banyak yang berubah. Kesulitan bagi warga
yang sedang hamil, akan semakin bertambah ketika akan melahirkan. Tidak
adanya kendaraan bermotor memaksa warga harus menggendong atau
menggotong ibu hamil yang akan melahirkan menuju Puskesmas atau bidan
desa terdekat. Karena itu warga yang hamil memilih mengungsi di rumah
saudaranya bila menjelang kelahiran.
"Jika terjadi berbagai kejadian yang menimpa warga, kami bergotong royong," tambah Mbah Rebi (80) yang ditunjuk warga sebagai pejabat ketua RT di Dusun Tegal.
Lebih ironis lagi, ketika jatah beras miskin untuk warga tidak merata kepada 44 KK penghuni Dusun Tegal. Dari
jatah beras untuk rakyat miskin pemerintah, hanya sekitar 7 KK yang
mendapat jatah tiap bulannya. Hal itu sempat menjadi pertanyaan,
sejumlah warga, namun mereka tidak tahu harus kemana mengadukan masalah
tersebut.
Dari pengakuan hampir seluruh warga Dusun Tegal, tidak
pernah ada satu pun pejabat maupun perangkat desa yang mengusulkan jalan
menuju Dusun Tegal diperbaiki. Sehingga kondisi jalan yang hanya
tersusun dari tanah liat itupun akan sangat becek bila musim hujan.
Sehingga selama musim hujan, praktis aktifitas warga untuk keluar desa
menuju desa lainnya dilakukan dengan jalan kaki. Demikian juga ketika
anak-anak yang sekolah, terpaksa harus jalan kaki menembus hutan jati.
Di
Dusun Tegal Desa Pule Kecamatan Jatikalen, sepertinya waktu tidak
pernah berputar. Penghuni dusunpun sepertinya pasrah menunggu perubahan
zaman yang tidak terjamah oleh pemerintah. Kemiskinan dan kebodohan
sepertinya akan menjadi teman setia warga Dusun Tegal sepanjang umurnya.
Karena penguasa sibuk menimbun harta untuk menjadi yang terkaya.